Kamis, 28 Maret 2013

TRADISI PERANG YANG MASIH ADA DI BALI


 PERANG API (Ter-Teran/Siat Geni)
Lokasi : Desa Pakraman Jasri, Karangasem
Deskripsi singkat :
Tradisi dengan sarana prakpak (daun kelapa kering) digelar setiap dua tahun sekali, tepatnya pada hari Pangerupukan atau sehari sebelum hari raya Nyepi.  Tradisi perang api didesa Jasri, selain untuk menyambut pergantian tahun baru caka, juga dilakukan serangkaian dengan upacara usaba Dalem didesa adat setempat
Sebelum perang api dimulai, warga yang mengikuti tradisi tersebut sebelumnya melakukan persembahyangan. Selanjutnya mereka terbagi dalam tiga kelompok besar masing-masing menempati sebelah utara disekitar pohon beringin, sebelah selatan dipatung salak dan bagian tengah di Bale Agung. Meskipun panas terkena semburan api, namun ratusan warga Jasri yang mengikuti tradisi tersebut nampak tetap bersemangat. Tidak ada terlihat wajah ketakutan. Tradisi dua tahunan ini juga menjadi tontonan wisatawan.
                Foto :
                



                                                                                                                   
2.       PERANG KETUPAT (Perang Tipat Bantal)
Lokasi : Desa Adat Kapal, Mengwi, Badung
Deskripsi singkat :
             Perang ini adalah sebuah ritual tradisi tahunan yang digelar sejak tahun 1337 oleh masyarakat lokal di Desa Adat Kapal, Kabupaten Badung, Propinsi Bali. Perang Ketupat merupakan bentuk rasa terima kasih warga kepada Sang Hyang Widhi atas panen juga sebagai doa agar terhindar dari kekeringan. Perang yang tergolong unik itu setiap tahun sekali wajib dilakukan masyarakat Desa Kapal, kabupaten Badung, sesuai perintah (bhisama) Ki Kebo Iwa sejak tahun 1263 atau tahun 1341 masehi.
           Kepercayaan tersebut dilakukan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga kini masih tetap lestari. Perang ketupat itu ditujukan kepada masyarakat Desa Kapal untuk melakukan “Tajen pengangon” untuk mohon keselamatan dan kesejahteraan umat manusia. Tradisi ini sering juga disebut Aci Rah Pengangon oleh masyarakat setempat. Ritual ini diawali dengan upacara sembahyang bersama oleh seluruh warga desa di pura setempat. Pada upacara tersebut, pemangku adat akan memercikan air suci untuk memohon keselamatan para warga peserta Perang Ketupat ini.
               
                Foto :


               

3.      GEBUG ENDE/Gebug Seraya
Lokasi : Desa Adat Seraya, Karangasem
Deskripsi singkat :
                Gebug Ende  berasal dari kata gebug dan ende. Gebug artinya adalah memukul sedangkan alat yang digunakan adalah rotan dengan panjang sekitar 1,5  hingga 2 meter. Sementara alat untuk menangkis disebut denga Ende. Ende dibuat dari kulit sapi yang dikeringkan selanjutnya dianyam berbentuk lingkaran.
Diceritakan Jaman dahulu krama desa seraya adalah prajurit perang Raja Karangasem yang ditugaskan untuk “menggebug” atau menyerang Lombok. Setelah jaman kerajaan jiwa dan semangat kesatria seraya masih tetap menyala hingga kini. Disesuaikan perkembangan jaman maka terciptalah sebuah tarian Gebug Ende yang secara turun temurun dapat kita saksikan hingga kini. Tombak Pedang dan Tameng yang digunakan jaman dahulu diganti dengan peralatan rotan dan Ende. 
                Dan bila dalam pertandingan tersebut ada darah yang menetes, dipercaya hujan akan turun setelah pertandingan tersebt usai.

                 Foto :




4.       PERANG PANDAN (Mekare-kare)
Lokasi : Desa Adat Tenganan, Manggis, Karangasem
Deskripsi Singkat :
            Perang pandan atau yang sering disebut mekare-kare di Desa Tenganan, Manggis , Karangasem, Bali dilakukan oleh para pemuda dengan memakai kostum/kain adat tenganan, bertelanjang dada bersenjatakan seikat daun pandan berduri dan perisai untuk melindungi diri. Tradisi ini berlangsung setiap tahun sekitar bulan Juni, biasanya selama 2 hari. Perang pandan diawali dengan ritual upacara mengelilingi desa untuk memohon keselamatan, setelah itu perang pandan dimulai dan kemudian ditutup persembahyangan di Pura setempat dilengkapi dengan menghaturkan tari Rejang.
           Pasangan pria yang masing-masing dilengkapi perisai anyaman dan bersenjata seberkas potongan daun pandan berduri beradu ketangkasan untuk saling melukai lawannya. Duri pandan yang tertancap dalam atau merobek daging tubuh disusul cucuran darah segar adalah risiko bagi pelaga yang tidak tangkas menangkis. Namun, dari atraksi itu pengunjung juga disuguhi pemandangan kontras. Aksi saling melukai tersebut justru dilakukan sambil mengembangkan senyum ceria. 
             Atraksi ini adalah bagian dari ritual pemujaan masyarakat Tenganan kepada Dewa Indra. Sang dewa perang itu dihormati dengan darah sehingga atraksi perang pandan dilakukan tanpa rasa dendam, atau bahkan dengan senyum ceria, meski harus saling melukai dengan duri pandan.

                Foto :
                



5.       PERANG SIAT SAMPIAN
Lokasi : Pura Samuan Tiga, Desa Bedulu, Blahbatuh, Gianyar
Deskripsi Singkat :
            Prosesi ini diikuti oleh para premas atau ibu-ibu yang sudah disucikan. Selain ibu-ibu, para pemangku pura setempat juga ikut mengelingi areal Pura. Setelah prosesi ini selesai dilanjutkan dengan upacara Ngombak. Pada upacara ini para wanita yang berjumlah 46 orang, serta laki-laki atau semeton parekan yang juga sudah disucikan berjumlah 309 orang melakukan upacara Ngombak. Upacara ini dilakukan dengan cara berpegangan tangan satu sama lainnya, kemudian bergerak laksana ombak. Setelah usai upacara ini, para laki dan wanita tersebut langsung mengambil Sampian (rangkaian janur untuk sesajen) dan saling pukul serta lempar atau perang dengan sampian satu sama lainnya.
            Sampian itu merupakan lambang senjata Dewa Wisnu, dan senjata ini dipergunakan untuk memerangi Adharma (kejahatan). Filosofi yang diambil dari tradisi ini adalah untuk mengenyahkan Adharma atau kejahatan dari muka bumi.  Selain simbol perang terhadap kejahatan, ’siat sampian’ juga untuk merayakan bersatunya berbagai sekte keagamaan (Hindu) di Bali, disamping untuk memohon kesejahteraan lahir dan batin.

          Foto: 




6.       PERANG KAYU (Mekotek)
Lokasi : Desa Adat Munggu, Mengwi, Badung
Deskripsi singkat :

perang kayu yang selalu dilakukan warga Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, di setiap perayaan Kuningan. Perang ini berbeda dari perang pada umumnya. Tidak ada senjata tajam dan satu sama lain tidak saling menyerang. Mekotek sendiri diambil dari kata tek-tek yang merupakan bunyi kayu yang diadu satu sama lain. Seribu lebih warga dari 12 banjar di desa Munggu ikut serta dalam tradisi yang diwariskan saat perayaan kemenangan perang Blambangan pada masa kerajaan silam. Setiap warga yang mengikuti Mekotek diwajibkan membawa sebuah kayu jenis pulet yang panjangnya sekitar 3,5 meter.
Warga kemudian terbagi dalam beberapa kelompok dan menggabungkan kayu-kayu tersebut hingga berbentuk kerucut. Kemudian, ada salah seorang warga yang naik di atas tumpukan kayu tersebut untuk ditabrakkan dengan kelompok yang mendirikan tumpukan kayu yang lain. Selain sebagai simbol kemenangan, Mekotek juga merupakan upaya untuk menolak bala yang pernah menimpa desa ini puluhan tahun lalu. Pada tahun 1915, Belanda melarang diadakannya tradisi Mekotek karena takut terjadi pemberontakan, kemudian munculah bencana berupa wabah penyakit yang menewaskan 10 orang setiap harinya," ujar Ketua Kerta Desa Munggu Ida Bagus Gede Mahadewa. "Setelah itu, kami melakukan negosiasi dengan Belanda dan akhirnya diizinkan kembali untuk menggelar kembali tradisi ini dan tidak pernah ada lagi bencana seperti sebelumnya," tambahnya.

               Foto :



7.       PERANG PISANG (Mesabatan Biu/Siat Biu)
Lokasi : Desa Tenganan Dauh Tukad, Manggis, Karangasem
Deskripsi singkat :
Perang Pisang ini dilakukan dalam rangka melakukan pemilihan ketua dan wakil ketua kelompok pemuda di desa ini. Tujuannya ialah untuk melakukan tes dan uji mental kepada para calon yang akan menjadi pemimpin desa setempat. Mereka harus lulus ujian dalam tradisi ini jika ingin “karier”-nya sebagai tokoh pemuda di Tenganan berjalan dengan mulus. Guna mempersiapkan fisik dan mental seorang calon pemimpin, warga Desa Tenganan Dauh Tukad, Karang Asem, Bali, menggelar tradisi perang pisang (siat biu). Dalam tradisi tersebut, pemuda calon pemimpin harus siap melakukan perang pisang melawan para pemuda desa lain. Tradisi tahunan itu dilakukan sejak pagi. Warga di desa itu melakukan berbagai persiapan. Dan para pemuda wajib menyiapkan 20 butir kelapa dan sesisir pisang, tanpa dibantu orang lain. Setelah siap, kelapa dan pisang dipanggul sebagai bentuk syukur atas panen hasil bumi yang nantinya akan disumbangkan ke desa.
Maka, perang pun dimulai saat calon pemimpin itu tiba di desa. Calon saya dan penampih atau calon ketua dan wakil ketua pemuda akan menjadi sasaran lemparan pisang dari pemuda-pemuda desa. Jika ada yang jatuh, maka denda seharga buah yang jatuh harus dibayarkan. Usai perang, acara makan bersama (megibung) pun dilakukan. Hal ini dimaksudkan, untuk menjaga keharmonisan di antara warga. Melalui tradisi perang pisang (siat biu), warga berharap, pemuda desa siap mengembang tugas berat sebagai pemimpin pemuda. Bahkan, ia siap menjadi tokoh adat yang mampu menjaga keutuhan desa.                     

Foto: 






 PERANG PELEPAH BATANG PISANG (perang papah biu)
Lokasi : Desa Pegotan, Bangli
Deskripsi singkat :
           Hampir mirip dengan tradisi tatebahan di karangasem yang menggunakan pelepah daun pisang, namun pada peserta perang papah biu dipersenjatai dengan pelepah pisang (yang ada di batangnya gan) yang telah dipotong-potong sepanjang setengah meter. "Tidak ada aturan yang baku dalam Perang Papah Biu yang digelar oleh masyarakat setiap November ini. Para pemain bebas menggebuki lawan dan memukul dengan senjatanya, yakni pelepah pisang. Karena itu, katanya, banyak peserta yang terluka karenanya. Meskipun demikian, tidak ada rasa sakit di tubuh korban yang terluka serta tidak ada dendam.
"Sebenarnya tradisi Perang Papah Biu ini oleh masyarakat lebih dikenal sebagai Tari Baris Babuang, yang sakral dan hanya ada satu-satunya di desa Pakraman Pengotan sebagai warisan ratusan tahun silam," katanya.

                 Foto :




 PERANG PELEPAH DAUN PISANG (Tatebahan)
Lokasi : Desa Bugbug, Karangasem
Deskripsi singkat :

Upacara TATEBAHAN secara khusus dilaksanakan setahun sekali, yang bertepatan pada rahina purwaning purnama sasih Jiyestha nuju beteng. Selain itu tradisi ini juga selalu diadakan dalam serangkaian aci besar di Bugbug seperti aci Gumang , dimana aci ini melibatkan masyarakat yang memiliki hubungan historis, dikenal dengan sebutan krama/masyarakat Catur Desa (Bugbug, Jasri, Bebandem, dan Ngis) serta saat Usaba Kaja yang melibatkan masyarakat Datah. Tujuannya disini adalah menjalin rasa persaudaraan dan persatuan antar warga sebagai ikatan dan jalinan tali kasih antar krama Catur desa dan krama Datah.  
Secara khusus prosesi upacara TATEBAHAN umumnya dilakukan oleh krama laki-laki(baik tua maupun muda) bertempat di pura desa Bale Agung desa Adat Bugbug yang dilaksanakan pada pagi hari. Sebelum dilangsungkan upacara ini setiap Krama (masyarakat) Bugbug menyiapkan perlengkapan yang diperlukan seperti pelepah daun pisang (papah biu) sebanyak satu ikat kurang lebih 5 batang. 

Foto: 



PERANG JEMPANA
Lokasi: bukit gumang karangasem dan banjar timbrah desa pakse bali
deskripsi singkat:
            Tradisi Perang Jempana rutin di laksanakan setiap 210 hari (6 bulan) sekali yaitu setiap Hari Tumpek Kuningan atau sepuluh hari setelah hari Raya Galungan. Perang Jempana merupakan ritual cengkrama para Dewa yang dilaksanakan saat perayaan Hari Raya Kuningan, yaitu serangkaian perayaan kemenangan "Dharma" (kebenaran) melawan "Adharma" (kejahatan)

             Foto: