PERANG API (Ter-Teran/Siat Geni)
Lokasi : Desa Pakraman Jasri, Karangasem
Deskripsi singkat :
Tradisi dengan
sarana prakpak (daun kelapa kering) digelar setiap dua tahun sekali, tepatnya
pada hari Pangerupukan atau sehari sebelum hari raya Nyepi. Tradisi perang api didesa
Jasri, selain untuk menyambut pergantian tahun baru caka, juga dilakukan
serangkaian dengan upacara usaba Dalem didesa adat setempat
Sebelum perang api
dimulai, warga yang mengikuti tradisi tersebut sebelumnya melakukan
persembahyangan. Selanjutnya mereka terbagi dalam tiga kelompok besar
masing-masing menempati sebelah utara disekitar pohon beringin, sebelah selatan
dipatung salak dan bagian tengah di Bale Agung. Meskipun panas terkena semburan
api, namun ratusan warga Jasri yang mengikuti tradisi tersebut nampak tetap
bersemangat. Tidak ada terlihat wajah ketakutan. Tradisi dua tahunan ini juga
menjadi tontonan wisatawan.
Foto :
2. PERANG KETUPAT (Perang Tipat Bantal)
Lokasi : Desa
Adat Kapal, Mengwi, Badung
Deskripsi singkat
:
Perang ini adalah
sebuah ritual tradisi tahunan yang digelar sejak tahun 1337 oleh masyarakat
lokal di Desa Adat Kapal, Kabupaten Badung, Propinsi Bali. Perang Ketupat
merupakan bentuk rasa terima kasih warga kepada Sang Hyang Widhi atas panen
juga sebagai doa agar terhindar dari kekeringan. Perang yang tergolong unik itu
setiap tahun sekali wajib dilakukan masyarakat Desa Kapal, kabupaten Badung,
sesuai perintah (bhisama) Ki Kebo Iwa sejak tahun 1263 atau tahun 1341 masehi.
Kepercayaan
tersebut dilakukan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya hingga kini masih tetap lestari. Perang ketupat itu ditujukan kepada
masyarakat Desa Kapal untuk melakukan “Tajen pengangon” untuk mohon keselamatan
dan kesejahteraan umat manusia. Tradisi ini sering juga disebut Aci Rah
Pengangon oleh masyarakat setempat. Ritual ini diawali dengan upacara
sembahyang bersama oleh seluruh warga desa di pura setempat. Pada upacara
tersebut, pemangku adat akan memercikan air suci untuk memohon keselamatan para
warga peserta Perang Ketupat ini.
Foto :
3. GEBUG ENDE/Gebug Seraya
Lokasi :
Desa Adat Seraya, Karangasem
Deskripsi
singkat :
Gebug Ende berasal dari
kata gebug dan ende. Gebug artinya adalah memukul sedangkan alat yang digunakan
adalah rotan dengan panjang sekitar 1,5 hingga 2 meter. Sementara alat
untuk menangkis disebut denga Ende. Ende dibuat dari kulit sapi yang
dikeringkan selanjutnya dianyam berbentuk lingkaran.
Diceritakan Jaman
dahulu krama desa seraya adalah prajurit perang Raja Karangasem yang ditugaskan
untuk “menggebug” atau menyerang Lombok. Setelah jaman kerajaan jiwa dan
semangat kesatria seraya masih tetap menyala hingga kini. Disesuaikan
perkembangan jaman maka terciptalah sebuah tarian Gebug Ende yang secara turun
temurun dapat kita saksikan hingga kini. Tombak Pedang dan Tameng yang
digunakan jaman dahulu diganti dengan peralatan rotan dan Ende.
Dan bila dalam pertandingan tersebut
ada darah yang menetes, dipercaya hujan akan turun setelah pertandingan tersebt
usai.
Foto :
4. PERANG PANDAN (Mekare-kare)
Lokasi :
Desa Adat Tenganan, Manggis, Karangasem
Deskripsi
Singkat :
Perang pandan atau
yang sering disebut mekare-kare di Desa Tenganan, Manggis , Karangasem, Bali
dilakukan oleh para pemuda dengan memakai kostum/kain adat tenganan,
bertelanjang dada bersenjatakan seikat daun pandan berduri dan perisai untuk
melindungi diri. Tradisi ini berlangsung setiap tahun sekitar bulan Juni,
biasanya selama 2 hari. Perang pandan diawali dengan ritual upacara
mengelilingi desa untuk memohon keselamatan, setelah itu perang pandan dimulai
dan kemudian ditutup persembahyangan di Pura setempat dilengkapi dengan
menghaturkan tari Rejang.
Pasangan pria
yang masing-masing dilengkapi perisai anyaman dan bersenjata seberkas potongan
daun pandan berduri beradu ketangkasan untuk saling melukai lawannya. Duri
pandan yang tertancap dalam atau merobek daging tubuh disusul cucuran darah
segar adalah risiko bagi pelaga yang tidak tangkas menangkis. Namun, dari
atraksi itu pengunjung juga disuguhi pemandangan kontras. Aksi saling melukai
tersebut justru dilakukan sambil mengembangkan senyum ceria.
Atraksi ini
adalah bagian dari ritual pemujaan masyarakat Tenganan kepada Dewa Indra. Sang
dewa perang itu dihormati dengan darah sehingga atraksi perang pandan dilakukan
tanpa rasa dendam, atau bahkan dengan senyum ceria, meski harus saling melukai
dengan duri pandan.
Foto :
5. PERANG SIAT SAMPIAN
Lokasi : Pura Samuan Tiga, Desa Bedulu,
Blahbatuh, Gianyar
Deskripsi Singkat :
Prosesi ini diikuti oleh para premas atau
ibu-ibu yang sudah disucikan. Selain ibu-ibu, para pemangku pura setempat juga
ikut mengelingi areal Pura. Setelah prosesi ini selesai dilanjutkan dengan
upacara Ngombak. Pada upacara ini para wanita yang berjumlah 46 orang, serta
laki-laki atau semeton parekan yang juga sudah disucikan berjumlah 309 orang
melakukan upacara Ngombak. Upacara ini dilakukan dengan cara berpegangan tangan
satu sama lainnya, kemudian bergerak laksana ombak. Setelah usai upacara ini,
para laki dan wanita tersebut langsung mengambil Sampian (rangkaian janur untuk
sesajen) dan saling pukul serta lempar atau perang dengan sampian satu sama
lainnya.
Sampian itu merupakan lambang senjata Dewa
Wisnu, dan senjata ini dipergunakan untuk memerangi Adharma (kejahatan).
Filosofi yang diambil dari tradisi ini adalah untuk mengenyahkan Adharma atau
kejahatan dari muka bumi. Selain simbol
perang terhadap kejahatan, ’siat sampian’ juga untuk merayakan bersatunya
berbagai sekte keagamaan (Hindu) di Bali, disamping untuk memohon kesejahteraan
lahir dan batin.
Foto:
6. PERANG KAYU (Mekotek)
Lokasi : Desa Adat Munggu, Mengwi, Badung
Deskripsi singkat :
perang
kayu yang selalu dilakukan warga Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten
Badung, Bali, di setiap perayaan Kuningan. Perang ini berbeda dari perang pada
umumnya. Tidak ada senjata tajam dan satu sama lain tidak saling menyerang. Mekotek
sendiri diambil dari kata tek-tek yang merupakan bunyi kayu yang diadu
satu sama lain. Seribu lebih warga dari 12 banjar di desa Munggu ikut serta
dalam tradisi yang diwariskan saat perayaan kemenangan perang Blambangan pada
masa kerajaan silam. Setiap warga yang mengikuti Mekotek diwajibkan membawa
sebuah kayu jenis pulet yang panjangnya sekitar 3,5 meter.
Warga
kemudian terbagi dalam beberapa kelompok dan menggabungkan kayu-kayu tersebut
hingga berbentuk kerucut. Kemudian, ada salah seorang warga yang naik di atas
tumpukan kayu tersebut untuk ditabrakkan dengan kelompok yang mendirikan
tumpukan kayu yang lain. Selain sebagai simbol kemenangan, Mekotek juga
merupakan upaya untuk menolak bala yang pernah menimpa desa ini puluhan tahun
lalu. Pada tahun 1915, Belanda melarang diadakannya tradisi Mekotek karena
takut terjadi pemberontakan, kemudian munculah bencana berupa wabah penyakit
yang menewaskan 10 orang setiap harinya," ujar Ketua Kerta Desa Munggu Ida
Bagus Gede Mahadewa. "Setelah itu, kami melakukan negosiasi dengan Belanda
dan akhirnya diizinkan kembali untuk menggelar kembali tradisi ini dan tidak
pernah ada lagi bencana seperti sebelumnya," tambahnya.
Foto :
7. PERANG PISANG (Mesabatan Biu/Siat Biu)
Lokasi : Desa Tenganan Dauh Tukad, Manggis,
Karangasem
Deskripsi singkat :
Perang Pisang ini dilakukan dalam rangka melakukan pemilihan ketua dan
wakil ketua kelompok pemuda di desa ini. Tujuannya ialah untuk melakukan tes
dan uji mental kepada para calon yang akan menjadi pemimpin desa setempat.
Mereka harus lulus ujian dalam tradisi ini jika ingin “karier”-nya sebagai
tokoh pemuda di Tenganan berjalan dengan mulus. Guna mempersiapkan fisik dan
mental seorang calon pemimpin, warga Desa Tenganan Dauh Tukad, Karang Asem,
Bali, menggelar tradisi perang pisang (siat biu). Dalam
tradisi tersebut, pemuda calon pemimpin harus siap melakukan perang pisang
melawan para pemuda desa lain. Tradisi tahunan itu dilakukan sejak pagi. Warga
di desa itu melakukan berbagai persiapan. Dan para pemuda wajib menyiapkan 20
butir kelapa dan sesisir pisang, tanpa dibantu orang lain. Setelah siap, kelapa
dan pisang dipanggul sebagai bentuk syukur atas panen hasil bumi yang nantinya
akan disumbangkan ke desa.
Maka, perang pun dimulai saat calon pemimpin itu tiba di desa. Calon
saya dan penampih atau calon ketua dan wakil ketua pemuda akan menjadi sasaran
lemparan pisang dari pemuda-pemuda desa. Jika ada yang jatuh, maka denda
seharga buah yang jatuh harus dibayarkan. Usai perang, acara makan bersama (megibung) pun dilakukan. Hal ini
dimaksudkan, untuk menjaga keharmonisan di antara warga. Melalui tradisi perang
pisang (siat biu), warga berharap, pemuda
desa siap mengembang tugas berat sebagai pemimpin pemuda. Bahkan, ia siap
menjadi tokoh adat yang mampu menjaga keutuhan desa.
Foto:
PERANG PELEPAH BATANG PISANG (perang papah
biu)
Lokasi : Desa Pegotan, Bangli
Deskripsi singkat :
Hampir
mirip dengan tradisi tatebahan di karangasem yang menggunakan pelepah daun
pisang, namun pada peserta perang papah biu dipersenjatai dengan pelepah pisang
(yang ada di batangnya gan) yang telah dipotong-potong sepanjang setengah
meter. "Tidak ada aturan yang baku dalam Perang Papah Biu yang digelar
oleh masyarakat setiap November ini. Para pemain bebas menggebuki lawan dan
memukul dengan senjatanya, yakni pelepah pisang. Karena itu, katanya, banyak
peserta yang terluka karenanya. Meskipun demikian, tidak ada rasa sakit di
tubuh korban yang terluka serta tidak ada dendam.
"Sebenarnya
tradisi Perang Papah Biu ini oleh masyarakat lebih dikenal sebagai Tari Baris
Babuang, yang sakral dan hanya ada satu-satunya di desa Pakraman Pengotan
sebagai warisan ratusan tahun silam," katanya.
Foto :
Lokasi : Desa Bugbug, Karangasem
Deskripsi singkat :
Upacara TATEBAHAN secara khusus dilaksanakan
setahun sekali, yang bertepatan pada rahina purwaning purnama
sasih Jiyestha nuju beteng. Selain itu tradisi ini juga
selalu diadakan dalam serangkaian aci besar di Bugbug seperti aci Gumang ,
dimana aci ini melibatkan masyarakat yang memiliki hubungan historis, dikenal
dengan sebutan krama/masyarakat Catur Desa (Bugbug, Jasri, Bebandem, dan Ngis)
serta saat Usaba Kaja yang melibatkan masyarakat Datah. Tujuannya disini adalah
menjalin rasa persaudaraan dan persatuan antar warga sebagai ikatan dan jalinan
tali kasih antar krama Catur desa dan krama Datah.
Secara khusus prosesi upacara TATEBAHAN umumnya
dilakukan oleh krama laki-laki(baik tua maupun muda) bertempat di pura desa
Bale Agung desa Adat Bugbug yang dilaksanakan pada pagi hari. Sebelum
dilangsungkan upacara ini setiap Krama (masyarakat) Bugbug menyiapkan perlengkapan
yang diperlukan seperti pelepah daun pisang (papah biu) sebanyak satu ikat
kurang lebih 5 batang.
Foto:
Tradisi Perang Jempana rutin di laksanakan setiap 210 hari (6 bulan) sekali yaitu setiap Hari Tumpek Kuningan atau sepuluh hari setelah hari Raya Galungan. Perang Jempana merupakan ritual cengkrama para Dewa yang dilaksanakan saat perayaan Hari Raya Kuningan, yaitu serangkaian perayaan kemenangan "Dharma" (kebenaran) melawan "Adharma" (kejahatan)
Foto: